Kabarenergi.com, Jakarta – Pakar Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Eddy Junarsin menilai kebijakan harga gas murah yang dikenal Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) perlu segera dievaluasi. Sebab, kebijakan yang sudah dijalankan sejak pandemi Covid-19 ini membebani keuangan negara dan berpotensi menurunkan minat investasi di hulu migas.
Apalagi sektor industri tertentu penerima manfaat harga gas subsidi ini juga gagal meningkatkan kontribusinya terhadap perekonomian.
”HGBT sifatnya kebijakan yang protektif atau defensif pada masa pendemi untuk mengamankan 7 industri yang dirasa memerlukannya. Harus dievaluasi melalui penelitian, apakah kebijakan tersebut mampu meningkatkan daya saing industri-industri yang menerima harga tersebut,” katanya dalam keterangannya, Kamis (22/2).
Sebanyak 7 sektor penikmat HGBT saat ini terdiri atas sektor industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, hingga sarung tangan karet. Seluruhnya mendapatkan pasokan gas di bawah harga pasar yakni USD6 per MMBTU.
Menurut Eddy, pemerintah harus melakukan riset untuk mengetahui efek kebijakan HGBT tersebut. Hal ini penting untuk menjadi landasan program tersebut layak diteruskan atau dihentikan.
“Dampaknya hanya memproteksi atau men-defend berbagai industri yang dituju tersebut. Apakah kebijakan tersebut meningkatkan daya saing, ini hanya bisa dijawab dengan riset kuantitatif yang mengakomodasi berbagai faktor lain,” imbuhnya.
Lembaga Kajian Energy Reforminer Institute memperkirakan, negara telah kehilangan penerimaan PNBP dari gas hingga sekitar Rp 30 triliun akibat subsidi harga gas sejak tahun 2020 ini.
Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, sampai tahun 2022 pelaksanaan harga gas bumi tertentu (HGBT) sebesar USD6 per MMBTU berdampak pada kehilangan penerimaan negara sebesar Rp 29,39 triliun.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies (CESS) Ali Ahmudi Achyak mengatakan, faktor lain yang penting menjadi pertimbangan adalah keseimbangan di industri migas. Meskipun, lanjutnya, di satu sisi program HGBT menjadi berkah bagi sektor industri penerima, di sisi lain pada saat yang sama kebijakan ini menekan industri hulu migas (upstream), industri tengah migas (midstream), dan downstream (hilir) migas sebagai penyalur.
Terlebih saat ini perekonomian Indonesia sudah terlepas dari potensi resesi akibat krisis pandemi yang sudah berlalu itu. Apalagi, kata Ali, keberlanjutan bisnis migas dari hulu hingga hilir mesti dijaga keseimbangannya supaya rantai pasok berjalan baik.
“Bagi sektor di atasnya (upstream dan midstream) itu jangka panjang akan menimbulkan masalah besar karena harga tidak sesuai mekanisme pasar,” tegasnya.
Adapun total alokasi volume yang disediakan pemerintah tertuang dalam Kepmen ESDM No 91 tahun 2023. Total alokasi volume gas untuk HGBT di 2023 yakni 2.541 billion british thermal unit per day (BBTUD). Namun, realisasi penyerapan sementara hanya 1.883 BBTUD atau setara 74 persen.
“Realisasi serapan volume gas HGBT 2023 sebesar 74 persen dari volume alokasi Kepmen, data masih unaudited. Untuk keseluruhan industri pengguna seperti listrik, pupuk. Detailnya belum bisa disampaikan karena masih direkonsiliasi,” tegasnya.